If you give us 90 minutes, we’ll give you a lifetime. Kalimat barusan akrab dengan relasi suporter dan klub yang dibelanya. Relasi yang jauh lebih besar dari kontrak manajemen dengan pemain atau pelatih. Artinya, pemain, pelatih, bahkan manajemen gampang saja berganti warna dan berjalan sesuai profesionalitasnya. Namun, pendukung tak mungkin bisa berganti klub kebanggaan. Apa yang diberikan pendukung pada klub tak bisa dituliskan secara singkat dan akan susah habis diceritakan. Seperti apa yang terucap dalam benak pendukung -tertulis di kalimat pertama- adalah harapan supaya siapa saja yang sedang membela lambang kebanggaan berusaha maksimal saat membela tim.
Omong-omong soal hasil maksimal, nampaknya Super Elja hingga pekan 27 musim ini tak mendapatkannya. Lalu pertanyaannya, apakah manajemen, pelatih, dan pemain sampai saat ini sudah benar-benar berjuang? Saya rasa belum.
Sejak gejolak yang terjadi di tubuh PSS sepanjang putaran pertama lalu, sebetulnya dukungan tak pernah habis diterima para pemain. Pendukung selalu berteriak dengan kebijakan manajemen yang saat itu berada di luar batas. Saya ingat betul, pada salah satu laga putaran pertama lalu kalau tidak salah setelah melawan Persita, pelatih sebelum ini berucap bahwa ada beberapa pemain yang tak menunjukkan usaha maksimal. Bahkan ia sempat berkata pada konferensi pers, “Saya kecewa pada beberapa pemain yang dapat kesempatan pada hari ini tapi tidak berubah, saya sudah marah pada pemain di sini. Kalau tidak main pakai hati di PSS tak apa, karena ada tim lain”. Saya tak hendak membela sosok pelatih tersebut karena jelas ia punya dosa juga pada PSS. Namun, apakah di skuat PSS sekarang masih ada pemain yang memang benar demikian? Hanya bermain sepak bola sebagai pekerja, dan tak bermain dengan hati?
Mungkin saja kini pemain tengah berada di zona nyaman karena sepanjang musim sasaran pendukung ketika melontarkan kritikan adalah pelatih dan manajemen. Mungkin pula karena liga kini belum boleh menghadirkan pendukung di stadion, maka mereka tak harus mendengarkan teriakkan pedas para suporter di tribun.
Tak cepat dilupakan tentu beberapa blunder yang diakibatkan kesalahan fatal beberapa pemain dan membuat PSS kehilangan poin penting. Belakangan, ketika mengkritisi beberapa pemain, kualitas pemain secara keseluruhan menjadi tameng. Padahal percuma ketika pemain punya kualitas tetapi tidak menunjukkan usaha yang maksimal dalam berlaga.
Tendangan Dave Mustaine di laga kontra Borneo kemarin dapat dinikmati seperti makan rujak di kala demam, menyegarkan. Menjadi penentu atas permainan yang tumpul. Terbalik dengan panenka gagal yang dipertontonkan Wander Luiz pada laga terakhir, menjadi awal dari rasa frustasi atas kekalahan.
Saya lihat Wander Luiz yang secara skill dan kualitas seharusnya tak jelek-jelek amat, namun ia masih belum memberikan yang terbaik bagi tim. Terakhir, ia gagal eksekusi penalti. Sebagai penyerang bahkan tendangan penaltinya jauh lebih buruk dari Tambun Naibaho. Sedangkan Bagas Umar, pemain muda orbitan akademi yang baru saja melakoni debut di skuat utama cenderung lebih ketara menampilkan effort besar dan memberikan apa yang bisa ia tawarkan.
Kini PSS tengah bersaing menjauhi peringkat tiga terbawah, pendukung sudah pasti butuh jawaban atas segala hasil buruk yang dituai di laga yang sudah-sudah. Pada hilangnya poin penting, atas hasil yang tak bisa diterima. Dan jawaban dari semuanya adalah kemenangan.
Sepanjang musim saya tidak banyak memperhatikan kalian. Sekarang perhatian saya penuh tertuju menonton permainan. Lantas sekarang kalian mau bagaimana? Sebatas pemain atau pahlawan?
(Pandhus)