Jalan Gelap, Orang-Orang Beringas

[13:28] Me:

Bulan depan aku balik. Datanya udah cukup buat 3x skripsi.

 

[18:04] Mas Kris:

Sbb. Good Job. Hape ketinggalan tadi pagi. Kabari landing jam berapa, aku bisa annual leave.

[19:48] Mas Kris:

Di pesawat bisa bawa tuak ga sih? Enak kali ya.

***

Kalau bukan karena program Orde Baru untuk penerangan desa, barangkali jalanan ini tidak pernah cukup terang untuk dilewati manusia-manusia penakut. Untung saja presiden saat itu cukup tegas (atau galak sih?) untuk mewajibkan jalan-jalan diterangi lampu. Terbukti dua lampu yang saling berhadapan di depanku saat ini tidak lagi menyala sungguh-sungguh dan sepertinya tidak ada pula yang cukup peduli untuk menggantinya dengan yang baru, atau mengecek masalah kelistrikannya, atau sekedar menyapa “apa kamu ga malu kehilangan harga dirimu sebagai lampu?” Kalaupun justru opsi ketiga yang terjadi, aku bingung lampu mana yang akan lebih jumawa, yang benar-benar mati di depanku ini atau yang masih kedip-kedip bikin sakit mata di seberang jalan.

Dua pohon mangga di tepi jalan diam saja sejak kedatanganku setengah jam lalu. Paling hanya parit kecil di antara pohon mangga, dan ladang tebu ini yang bikin malam tidak terlalu bisu. Walaupun bau paritnya lumayan menyengat dengan kombinasi mangga-mangga busuk yang jatuh pecah di pinggir-pinggir aspal, setidaknya bunyi aliran airnya cukup melodik ketimbang suara jangkrik yang gitu-gitu saja. Mio matic sudah kutaruh cukup jauh di balik ladang tebu, di sisi lainnya yang tembus menuju jalan alternatif, yang tentu saja  sama gelapnya. Dengan harapan prediksiku kali ini tidak meleset, semoga menunggu tidak membosankan seperti biasanya. Di ceruk turunan antara dua pohon mangga dan parit cerewet, di situlah aku. Menunggu sejak setengah jam lalu.

Entah pukul berapa -yang pasti aku sudah hampir ketiduran, kelap-kelip lampu biru menyita perhatianku dari kejauhan. Kantuk tidak boleh datang begitu saja kali ini karena adrenalin tiba-tiba menyergap aliran darah seperti baru menenggak kopi hitam panas-panas. Di belakang mobil pengawalan polisi, kutakar 4 bis pariwisata mengekor. Kuraba saku celana bagian kanan memastikan kunci motor masih di situ, rokok yang baranya sudah dekat filter kubuang masuk ke parit. Dua tanganku kini menggenggam batu.

Bicara tentang waktu, sebenarnya rombongan mobil ini bergerak tidak lambat-lambat amat. Bersyukur negara kita mewajibkan wajib belajar 9 tahun karena setidaknya kita belajar matematika walaupun integral dan pitagoras tidak kita tau fungsinya dalam hidup yang rumit. Perhitunganku malam ini kuanggap implementasi tidak langsung dari belajar angka-angka di bangku sekolahan. Kecepatan + percepatan + gravitasi + apa-apa lagi yang bisa kurumuskan dalam sepersekian detik melesakkan batu di tangan kananku dari balik pohon mangga. Bis nomor 2 ketiban sialnya, lemparanku pas di sudut kanan jendela ketiga bagian kiri. Batu lesak kencang betul macam tendangan Brian Ferreira waktu masih merumput di kandang kami. Si empunya kepala terkaget bangun dari tidurnya karena kaca tempat kepalanya bersandar diketuk batu dari kegelapan. Seketika isi bis riuh dan geraknya melambat. Tepat ketika bis berhenti, dua bis sisanya juga mengikuti.

Seharusnya aku tau kalau rombongan suporter sepakbola selalu mudah marah. Jangankan dipicu lemparan batu, keputusan wasit yang memihak saja bisa memicu keributan besar. Maka tidak heran jika tiga bis di depanku kini berhenti dan lampu-lampu mulai menyala di dalamnya. Orang-orang serentak berdiri celingukan berusaha mencari dari mana arah lemparan berasal. Sebagian mulai turun tumpah ke jalan diikuti kawan-kawannya. Sesak kepala mereka oleh curiga, berapa banyak yang menunggu di kegelapan. Seharusnya pula aku tau betul kalau ini saatnya lari. Wajah-wajah beringas mulai terlihat dari pendar lampu-lampu bis yang parkir. Mereka menerka musuh, aku menakar waktu.

Kabur cepat-cepat sebelum terlambat selalu jadi pilihan terbaik dan satu-satunya jika kamu bertanya padaku lain hari. Tapi malam ini keputusanku jatuh di pilihan kedua: kutimang batu di tangan kiri, memindahnya ke tangan kanan, dan melemparkannya sekali lagi kuat-kuat ke arah rombongan, berharap ada kepala acak yang bocor kena timpuk. Pilihan ini tidak sepenuhnya salah karena seketika seseorang tersungkur memegang kepalanya, orang-orang kaget kedua kalinya malam ini. Sebagian mengerumuni manusia sial itu, sebagian lagi mulai mengejar ke arahku karena aku ketahuan. Kali ini, aku mengambil pilihan pertama dan satu-satunya yang tersisa. 

Dulu sekali, Mas Kris sering mengajakku main di ladang tebu sepulang kami sekolah. Aku akan berlari lebih dulu sementara Mas Kris ogah-ogahan jalan kaki mengejarku. Biasanya kami akan memutari ladang beberapa kali yang buatku adalah petak umpet paling asyik, sebab Mas Kris selalu akan berteriak memanggil jika aku sudah terlalu jauh berlari. Aku menganggapnya sebuah kemenangan karena Mas Kris menyerah, ia menganggapnya sebagai observasi sebab kutau belakangan ternyata ia hanya mengawasi barang kali mandor sedang pulang makan siang dan kami bisa dapat sebatang tebu untuk dikupas di pinggir kali sekaligus mandi sebelum badan mulai gatal-gatal.

Satu kali, kami sedang menunggu rambut dan badan kami kering di tepi kali tempat biasa kami mengupas tebu. Mas Kris menyalakan Garpitnya, sedang aku sibuk mengunyah sepah-sepah manis.

“Bulan depan aku ujian akhir, kita ga main ke ladang tebu dulu ya. Nanti setelah lulus aku bakal cari kerja. Kamu mau baju bola? Nanti aku belikan kalau sudah dapat bayaran.”

“Sama sarung tangan kipernya ya mas.”

Kata-katanya di tepi kali saat itu memang hanya separuhnya terwujud. Kami benar-benar tidak lagi main ke ladang tebu, ia benar-benar harus menghadapi ujian akhir, dan benar-benar mendapat kerja setelahnya. Tentang baju bola dan sarung tangan kiper, sepaket janji itu tidak pernah datang di ulang tahunku tahun-tahun berikutnya. Aku tidak pernah menagihnya sampai kami berdua sama-sama lupa. Mungkin karena cita-citaku tidak lagi jadi the next Hendro Kartiko dan masuk timnas Indonesia sejak belajar gitar lebih menghabiskan waktu. Terlebih lagi memainkan lagu Peterpan lebih digandrungi perempuan waktu SMP ketimbang harus panas-panas main bola. Sebagai gantinya, kami jadi gemar menonton klub sepakbola lokal berdua, kecuali jika ia gagal dapat ijin cuti kerja.

Walaupun aku tidak menengok ke belakang barang sekali, aku yakin betul selusin lebih orang mengejarku petak umpet di ladang tebu malam ini. Suara umpatan-umpatan mereka terlalu beragam untuk kuhafal yang mana-mana saja yang sudah mengumpat dua kali atau tiga kali. Yang jelas adalah aku berlari sekencang mungkin dalam kegelapan. Sejauh mungkin dari bis yang mereka parkir. Secepat mungkin meninggalkan mereka. Dan tidak akan berhenti, sebab Mas Kris tidak akan berteriak mencariku hari ini.

Andai saja ia bisa berlari sama cepatnya sepertiku mungkin kepergiannya bisa ditunda oleh takdir lainnya. Setidaknya sampai aku pulang dari Borneo. Mati berdua karena kembung tuak oleh-oleh kurasa lebih baik tiap kali membayangkan detik demi detik ia meradang diamuk musuh yang trengginas.

***

Pak Karto, seperti pagi-pagi sebelumnya, berhenti di pertigaan depan rumah kontrakanku dan memukul mangkok keras-keras di gerobaknya supaya soto dagangannya cepat habis. Makin cepat habis, makin cepat ia pulang ke pelukan istri keduanya yang teteknya bikin sesak nafas. Aku cepat terbangun dan mengambil mangkok di dapur, berlari keluar sebelum Pak Karto mendorong gerobaknya pergi. Lengkap dengan segelas Kapal Api panas dan Garpit, inilah sarapan yang paling ideal di jagad bumi.

[08:21] Nugie:

Rombongan kena cegat polisi semalem. Maaf ga bisa balesin Mas Kris. Tapi katanya bis mereka ada yang pecah kacanya dilempar di perbatasan.

[08:21] Nugie:

Nanti kumpul jam 2 sekalian bagi tiket ya.

Aku belum ingin melakukan banyak hal pagi ini setelah sarapan. Pukul dua siang masih terlalu jauh dan menurutku lebih bijak jika saat ini kuhabiskan untuk ke WC dan membabat habis tai dalam perut sambil menghabiskan sisa-sisa Garpit. Kubalas pesan Nugie dengan “OK” saja sambil jongkok. Bersamaan dengan usaha menjinakkan tai pamungkas sekaligus yang terkeras pagi ini, aku tersenyum sedikit karena berita kaca bis pecah suporter rival lewat di beranda lini masa. Kubaca bagian komentar agak berat karena lubang pantat mulai perih berjuang.

“rivalitas hanya 90 menit” kata orang-orang di internet.

“sisanya dendam…” kataku dalam batin. Mataku terpejam, mulutku mengejan. Tai ini sangat sulit dijinakkan. 

(Tonggos)

Recent Posts

Social Media