Empat tahun yang lalu, Zen RS menulis tentang sepakbola sebagai tayangan (di televisi) terlihat lebih sporty ketimbang sepakbola itu sendiri. Penjelasannya detil sejak bagian pertama, sejak simulasi dan simulakra oleh Baudrillard dibawa sebagai pisau berpikir. Sekalipun dikemas sangat ciamik, orang mengabaikan hal-hal lain yang terjadi dalam sepakbola sebab kamera melulu mengikuti arah bola dan pemandangan-pemandangan di luar bingkai seolah-olah tidak pernah terjadi. Saya membaca tulisannya empat tahun yang lalu tapi saya mengabaikannya sebab tribun selatan sebagai tempat saya berdiri merayakan sepakbola sedang di puncak kemeriahan. Setiap pertandingan kandang adalah pesta yang sudah pasti. Dan tulisan Zen RS, kendati bagus, tidak pernah melekat di otak saya. Ga relate.
Sulit bagi saya membayangkan keresahan yang ditulis Zen RS sebab saya tidak pernah benar-benar menikmati sepakbola di televisi kecuali saat sedang mengaduk bumbu Indomie di warung burjo. Biasanya aa’ burjo menyetel tayangan liga Inggris atau liga Champion, sementara teman-teman saya ikut menonton dan pasang judi bola online. Sebagai seorang yang tidak mengikuti klub bola lain selain PS Sleman, saya tidak mengenal metode lain menonton sepakbola kecuali datang ke stadion. Maka saya bisa tau bahwa Anwarudin selalu tersenyum oleh sorak para suporter sebelum umpan silangnya meleset jauh dari target, atau Juan Revi yang sudah siap melancarkan jegalan sebelum pemain lawan benar-benar siap kehilangan bola, atau Alfonsinho yang kebingungan menjebak lawan dalam perangkap offside, atau bagian tribun mana yang lebih dulu menyalakan flare di masa tambahan waktu, bahkan siapa yang mulai berjoget dangdut saat Super Elja sudah unggul tiga gol atas mangsanya hari itu. Saya dan kita semua yang berada di tribun selatan menyaksikan potongan-potongan peristiwa itu dan menjadikannya ingatan-ingatan yang kekal, sekaligus bekal untuk menyaksikan laga berikutnya bahwa “match besok sepertinya akan sama asyiknya.”
Apa-apa yang ditulis Zen RS mulai terkait dengan pengalaman saya menonton sepakbola di tahun 2020 -dan kalian juga. Pembahasan dan umpatan-umpatan tentang corona menjadi sangat lumrah setiap kali kita mulai merindukan sepakbola. Liga Indonesia berhenti satu musim dan kita semua mulai lebih sering menonton sepakbola luar negri di televisi (yang sepi dan nyenyet). Gol dan umpan yang ciamik tidak lagi terlalu mengesankan sebab tidak ada sorak-sorai yang mengikuti keberhasilannya. Layar televisi terlihat sangat jernih di tayangan-tayangan liga Jerman dan liga Itali sebab tidak ada sisa asap dari tribun suporter sama sekali yang masuk ke bingkai kamera. Saya kehilangan rasa sama sekali terhadap permainan sebelas lawan sebelas. Permainan yang sedang tersiar di warung burjo sekarang bernilai sama dengan liga dangdut berjam-jam di Indosiar, saya mengabaikannya sambil mengaduk bumbu Indomie, hanya lewat dan tidak mampir sama sekali dalam ingatan.
Sementara itu, sepakbola Indonesia baru akan menemui kickoff di bulan Februari (setelah rencana-rencana gagal dua atau tiga kali sebelumnya) dengan format tanpa penonton. Ada ketakutan dalam diri jika saya akan menerimanya dengan canggung. Rasanya sulit menempatkan imajinasi saya melihat sepakbola dari layar sama dengan ketika saya berdiri di belakang gawang. Kamera akan mengikuti arah bola dan kita akan kehilangan detil-detil yang biasanya kita cari. Siapa pemain lawan yang ditempel Batata saat permainan bergulir di tepi lapangan? Atau bagaimana Yevhen menipu arah lari bek musuh sebelum dapat posisi yang pas di kotak pinalti? Atau apakah Munyeng sudah melakukan overlap saat bola bolak-balik terpantul di tengah lapangan? Atau bagaimana orang-orang merayakan gol di tempatnya masing-masing? Masihkah kita melonjak kegirangan dan saling merangkul satu sama lain?
Atau masihkah kita bangkit dari duduk dan menyanyikan anthem Sampai Kau Bisa pada akhir laga, di warung burjo, di rumah, di kamar kos, atau di mana pun kita menyaksikan PS Sleman besok?
(Tonggos)
Baca tulisan Zen RS disini