Bualan Sepanjang Hidup

“Aku berangkat, Rabu pulang,” kata Elang dari balik pintu. Ia pamit setengah berteriak sambil berlari pada jemputan teman-temannya di ujung gang. Selain karena terburu-buru dikejar jadwal sepakbola yang tidak akan menunggu dirinya tiba lebih dulu, Elang tau ibunya akan mengomel terlalu panjang sampai ia harus pura-pura ketiduran agar pidato berhenti.

Dan jalan keluar macam itu tidak cocok dipakai ketika pertandingan sepakbola akan digelar esok malam di Bogor, 500 kilometer dari Sleman. Bu Rohayah, ibunya, hanya mendapati halaman rumah kosong waktu meninggalkan ikan patin meliuk kepanasan di wajan. Anaknya telah berlalu tanpa ia sempat omong panjang lebar.

Ia kembali ke dapur dan memandangi ikan patin mulai garing. Matanya mulai merah menahan tangisnya yang menggenang. Sudah berkali-kali omelannya jatuh pada Elang agar melakukan hal lain dalam hidupnya selain mendukung sepakbola. Sebab ia sangat membenci itu. Bukan karena sepakbola adalah olahraga tak masuk akal. Ia membenci sepakbola karena Prapto, suaminya, adalah pembual ulung tentang sepakbola. Tentang PSS Sleman.

“Keluarga ditinggal. Sekolah ditinggal. Sepakbola terus yang diurusi. Isinya cuma orang ngimpi.” ujarnya ketus di dapur. Sebagai pelampiasan, kini Rohayah mulai menceramahi ikan patin yang bertambah naas nasibnya.

Kemarahan Rohayah pada sepakbola dimulai tak lama setelah ia dipinang Prapto. Bukan karena ia tidak mencintainya, atau karena pernikahannya hasil perjodohan. Ia justru benar-benar jatuh cinta saat seorang pemuda berbadan tegap dengan berani menanyakan namanya, di pasar malam, di lapangan Denggung, 19 tahun lalu. Mereka akhirnya bertukar nama, Prapto menawarkan diri untuk mengantar Rohayah pulang, dan sejak itu malam minggu mereka selalu dilalui berdua. Entah makan bakso di dekat alun-alun kota, atau mengejar layar tancap dan nonton filmnya sambil bergandengan tangan. Hingga suatu hari Prapto datang bersama keluarganya untuk meminang Rohayah. Kemarahannya dimulai tidak lama setelah itu.

Setelah pernikahan, Rohayah baru tau bahwa Prapto bukan seorang guru olahraga seperti yang diceritakan padanya saat masih bujang. Prapto bekerja serabutan bagi PSS Sleman yang saat itu sedang merangkak di sepakbola nasional sebagai tukang bantu-bantu tim. Tugasnya menyiapkan bola dan seragam, juga keperluan-keperluan lain saat tim bersiap latihan dan menjelang pertandingan. Rohayah tidak marah pada pekerjaan itu. Pondasi kemarahannya terbangun karena hari-hari berikutnya selalu diisi oleh angan-angan Prapto tentang PSS Sleman yang suatu hari akan menjadi juara di sepakbola Indonesia. Rumah kontrakan mereka penuh dengan kisah heroik si A yang sangat mahir menggiring bola, si B adalah pencetak angka yang produktif, dan akhir pekan tim mereka akan memenangkan laga. Tentu saja cerita itu jarang terjadi. Sepakbola di Sleman harus bersaing dengan banyak tim dari kota-kota besar dan tentu saja terseok-seok di papan bawah klasemen dari tahun ke tahun adalah hal yang wajar. Prapto cenderung menjadi pemarah jika PSS Sleman tidak meraih tiga angka dalam pertandingan mereka dan itulah yang Rohayah benci. Kisah-kisah yang semula megah dan sarat kepahlawanan mulai berubah menjadi bualan klise di telinga Rohayah.

Kemarahannya mendekati puncak saat anaknya mulai masuk SD. Prapto kerap membawa Elang ke latihan-latihan sore PSS Sleman sepulang sekolah. Anaknya dengan segera ikut menggandrungi Super Elang Jawa, julukan PSS Sleman di kancah nasional. Tentu saja dengan bualan-bualan yang sama seperti yang didengar Rohayah di tahun-tahun sebelumnya.

“Ibu minta kamu ga usah ngikutin PSS kayak bapakmu.” kata Rohayah di malam ketujuh kepergian Prapto, lepas tahlil. Dari sekian banyak isi kepala Rohayah, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya sembari Elang menggulung tikar.

Elang berhenti sebentar dari pekerjaannya, kemudian menjawab dalam suara sangat pelan, “Cuma PSS yang bisa kuingat dari bapak.”

“Justru itu. Ibu minta kamu ga usah ngikutin PSS kayak bapakmu.” Rohayah mengulang lagi kalimatnya sambil berlalu ke dapur, membereskan piring-piring bekas gorengan dan gelas-gelas bekas wadah rokok.

Sejak itu nasihat-nasihat panjang meluncur tiap kali Elang pamit untuk menonton latihan PSS Sleman. Kalimat-kalimat andalannya segera berubah menjadi omelan bertubi-tubi sejak Elang masuk SMP. Si anak tidak lagi hanya pamit untuk menonton latihan, ia mulai membeli tiket untuk menonton pertandingan. Rohayah bersiasat membatasi uang saku agar Elang tidak cukup uang membeli tiket sepakbola. Sementara Elang bersiasat pula kerja paruh waktu di toko tembakau dekat stadion agar bisa menabung saat jadwal pertandingan tiba.

Elang bukannya tidak mengerti kenapa ibunya sangat marah tiap kali ia pamit kemanapun demi sepakbola. Ia menyadari bahwa bapaknya memang seorang pembual ulung. Ia juga mendengar beribu-ribu bualan tentang PSS Sleman saban sore sewaktu bapaknya kerap mengajaknya menonton latihan. Jika bukan karena bapaknya pembual ulung, ia tidak mungkin larut percaya bahwa suatu saat PSS Sleman akan menjuarai liga. Kendati susah, usaha-usaha yang gagal baik di kandang sendiri maupun di kandang lawan adalah bukti yang Elang saksikan sendiri dari waktu ke waktu bahwa PSS Sleman memang berniat menjadi juara. Tuhan mungkin hanya lupa membalik nasib baik untuk PSS Sleman di tahun-tahun kemarin.

Rohayah hampir ketiduran di balik etalase toko kelontongnya saat ia mendengar langkah kaki datang setengah berlari. Elang masuk halaman dengan wajah mengulum senyum. Kepala Rohayah sudah siap dengan kalimat-kalimat amarah yang otomatis diketik otaknya. Mulutnya sudah siap menggelar celoteh panjang. Tapi Elang membuka percakapan sebelum ibunya benar-benar siap.

“Dua gol lawan Semen Padang di final. PSS Sleman akhirnya juara!”

Rohayah terdiam cukup lama dan berusaha tetap mengeluarkan semua kata-kata yang sudah berbaris dalam rongga mulutnya. Hanya saja ia tidak lagi bisa menyampaikannya. Sebab suaminya bukan pembual lagi sejak hari ini.

Tonggos,

Juli 2020

Recent Posts

Social Media