Pada satu kesempatan, saya bangun lebih pagi dari biasanya untuk menuju Semarang dengan buru-buru. Shuttle bus berangkat tidak lama setelah saya tiba di pangkalan. Seperti yang terjadwal di hari-hari sebelumnya, pak sopir memutar balik kendaraannya menuju utara dan berangkatlah kami segera. Untuk pak sopir, ini adalah kemudi dan perjalanan seperti yang sudah-sudah. Untuk saya, ini adalah pagi yang lain, yang berbeda, yang kepagian. Lumrahnya, perjalanan bagi orang yang tidak sibuk-sibuk amat seperti saya, jarak antara Sleman dan Semarang adalah waktu kosong. Dan waktu kosong selalu akrab dengan lamunan. Begitu pula untuk saya, pagi itu.
Armada kami belum sampai di Kali Krasak, tapi pikiran saya berjalan mundur jauh ke belakang, ke beberapa hari belakangan, ke persimpangan-persimpangan pikiran tentang pemain-pemain mahal yang merapat ke Sleman, tentang “nama klub harus selalu lebih besar dari nama di punggung”, tentang rasa getun pemain lama terbuang, tentang “yowis rapopo wong iki yo nggo PSS kok” dalam hati, tentang opini-opini yang terbelah, tentang mana reaksi yang tepat, tentang apakah ini rute yang benar bagi semua orang yang hidup-menghidupi PSS.
Di tengah ketersesatan jalan pikir, saya memutuskan berhenti sebentar dari tamasya andai-andai. Semalam, saya mengunduh video percakapan Cak Nun dan putranya. Saya biarkan mereka berdua berbicara di telinga, jadi tamu di kamar tidur saya. Saya duduk dan mendengarkan:
“…orang hidup itu kan harus berpijak pada kebenaran, cuma kebenaran ini kan kalau dalam istilah saya selama ini ada 3 macam, ada (1) benere dhewe -benarnya sendiri, trus (2) benarnya orang banyak yang mungkin itu bisa diaplikasi menjadi demokrasi -benarnya sebangsa, benarnya umat manusia sedunia, dan seterusnya, trus kemudian ada (3) benar yang sejati, yang mutlak, yang bener-bener…”
Bak pisau, video percakapan bapak dan anak dalam genggaman, saya segera mengupas buah-buah pikiran entah mentah, matang, atau busuk. Sangat mungkin, apa-apa yang keluar dalam cuitan saya selama ini adalah benar yang benarnya sendiri. Benar menurut saya. Begitu juga dengan pertentangan-pertentangan yang lahir kemudian, bisa jadi adalah benarnya mereka.
Perdebatan benar-salah selalu gradual kata Sabrang, benar bukan hitam dan putih. Bahkan ketika benar itu abu, kita semua kesulitan menunjuk abu yang sebelah mana. Yang cenderung hitam? Atau yang cenderung putih? Menunjuk mana kebenaran yang bener-bener tidak akan pernah tercapai, memang. Bagaimana juga, pencarian akan kebenaran adalah pencarian sepanjang nafas. Terlebih lagi, menentukan tujuan yang benar bagi PSS juga satu pekerjaan lain yang menguras waktu karena dalam perjalanannya ada pilihan untuk lewat jalur-jalur yang senantiasa bercabang. Bahkan jika kita semua sudah dalam kendaraan yang sama, opsi untuk berhenti dulu pipis sebentar bisa saja terlontar. Dan mungkin jadi, penumpang lain merasa tidak perlu berhenti dan ingin terus lanjut. Kemungkinan lain, ada penumpang yang setuju berhenti walaupun ia tidak ingin pipis, ia hanya ingin meregangkan kaki sebentar sambil merokok sebatang, mengecek sudah sejauh apa perjalanan mereka di aplikasi peta dan menakar sisa perjalanan ke depan.
Tentang tujuan, saya tidak sangsi pada arah yang kita semua tuju, pada sepakbola di tanah Sleman yang mandiri dan profesional, yang bermental juara dan sungguh layak menjadi identitas bagi semua pendukungnya, yang akan disandang dengan berbangga-bangga “aku bagian dari cerita”. Hanya saja, perkara kita menoleh pada “sepakbola mandiri dan profesional” sebelah mana kadang sering memicu obrolan. Tidak mungkin tidak, arah pembicaraan akan menuju ke sepakbola yang eropaik. Tidak ada yang keliru, pun saya sendiri begitu. Tapi saya bisa saja menoleh pada Sunderland yang terjerumus di pemilik klub yang hanya ngerti untung, orang lain bisa saja menoleh pada Real Madrid yang bertabur bintang. Saya bisa saja menoleh pada Manchester United yang suporternya bikin klub sendiri sebagai identitas mereka yang lebih Manchester, orang lain bisa saja menoleh pada Barcelona yang adem ayem sebab punya demi-god namanya Messi. Saya bisa saja menoleh pada St. Pauli yang pendukungnya nyengkuyung guyub bareng, orang lain bisa saja menoleh pada Juventus yang berani mengganti logo menuju yang termodern. Saya bisa saja menoleh pada Ajax yang melulu ditinggal pemain didikan akademi mereka, orang lain bisa saja menoleh pada Liverpool yang banyak menjuarai Liga Champions. Saya bisa menoleh pada sepakbola eropa sisi mana saja, begitu juga orang lain. Hingga pada akhirnya saya menyadari bahwa berbeda ternyata biasa saja, sebab referensinya berbeda, definisinya berbeda, dan keputusannya berbeda. Shuttle bus kami masuk gerbang tol, saya melihat sopir membayar dengan e-money, penumpang lain melihat bukit di tepi tol. Sebab ia duduk di mana, sedangkan saya di sisi jendela yang berbeda.
Tiba pada satu titik, saya menyadari betul bahwa perbedaan-perbedaan pemikiran adalah perkara pilihan. Di Sleman sekalipun ada pilihan untuk mendukung PSS, ada pilihan untuk menyerong mendukung klub lain. Menyempit ke pilihan mendukung PSS, kita semua dihadapkan pada pilihan lain: Slemania, Brigata Curva Sud, atau Sleman Fans di tribun timur dan barat. Menyempit lagi di tempat saya biasa berdiri, muncul pilihan lain: membeli paket langganan cerita sampingan PSS atau tidak. Video Cak Nun dan mas Sabrang sampai pada durasi akhir ketika Cak Nun memberi penekanan di tengah kebenaran yang relatif bergerak nilainya, “kita harus tetap ambil keputusan di tengah kewaspadaan.”
Maka inilah keputusan, di tribun mana saja kalian mendukung PSS, dengan cara dan tradisi mendukung macam apa saja, dengan keputusan berlangganan produk eksklusif atau tidak, dengan perdebatan-perdebatan sepanjang jalan, kamu tetap pendukung PSS apapun pilihan jalanmu, dan aku juga tetap pendukung PSS apapun pilihan jalanku. Pilihanku adalah mencintai PSS dengan banal. Dengan dangkal dan kekanak-kanakan. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar begitu saja jika buatku ada langkahmu yang ra masuk. Dengan kerelaan diri akan tertinggal cerita-ceritamu di balik 90 menit. Dengan kegirangan bahwa pemain A mencetak gol tendangan salto suatu hari, sementara orang di sebelahku merayakannya dengan enteng, “di latihan kemarin sudah sering begitu”. Siapa saja bisa tiba lebih dulu, tapi yang lebih penting adalah kita akan tiba di tujuan. One way or another, di PSS yang penuh dengan cerita-cerita besar, yang grande storia.
Sementara itu, shuttle bus tiba di pangkalan, di belakang SMK 3 Semarang. Saya membereskan headset, mengecek tas dan barang-barang yang tercecer, turun dari kendaraan, dan bersiap menyebrang.
“Tekke!” seorang pengendara motor memaki penyebrang jalan sebelum saya.
Dan klakson menguap nyaring sepanjang jalan.
(Tonggos)