Kamu bisa cari di berita-berita olahraga, liga-liga sepakbola yang sudah mulai dijalankan lagi dengan penonton buatan. Boneka-boneka di Korea Selatan duduk bersebelahan dalam jarak, dan Eropa dengan tribun penuh poster berdiri lengkap tertempel wajah para suporter yang memberi dukungan mereka. Banyak orang mencoba menelan itu sebagai kenormalan baru di tengah wabah, banyak orang yang lain menganggapnya sebagai lelucon. Aku sendiri? Aku sendiri menganggap sepakbola modern sudah lama melihat sepakbola dari sudut itu. Menggiring segala lapis manusia ke sepakbola yang ikut-ikut saja.
Kamu sudah membayar tiket maka diamlah di situ, seperti boneka, seperti tempelan poster. Jangan rusuh meski klub yang kamu bela sedang diatur skornya, jangan bakar-bakar api nikmati pertandingan dari atas sana dan segeralah pulang begitu peluit selesai berbunyi, kembali bekerja dan sampai jumpa di akhir pekan yang akan datang. Kira-kira begitu kan sepakbola “ideal” yang selalu diteriakkan orang-orang? Berapa kali kita semua suporter sepakbola menjadi bahan olokan ketika saling baku lempar bati atau ketika sedang protes pada klub atau protes pada federasi. Orang-orang yang tidak datang ke stadion hanya menikmati pertandingan yang ciamik dan suporter yang menempuh berkilo-kilo perjalanan untuk menghadiri pertandingan adalah pengganggu. Kapan timnas juara kalau suporternya rusuh mulu? Klise. Tapi sering sekali kubaca di platform media sosial apapun.
Aku dan kamu sebagai salah satu dari jutaan orang di Indonesia, atau bahkan di dunia, ikut menjadi bagian yang disalahkan karena gemar datang di pertandingan. Di satu peristiwa, kami Ultras PSS tertangkap video amatir sedang adu lempar di Jawa Timur, di pertandingan kasta dua beberapa tahun lalu. Video amatir lantas tersiar di televisi nasional dan beberapa wajah kami dikenali sanak famili dan teman-teman sekolah. Besoknya dengan tubuh masih letih, aku menuju kampus dan pertanyaan klise itu terulang, “memang kalau terus rusuh timmu jadi menang?” Tentu saja dalah hatiku jawabannya juga tidak. Orang-orang yang cuma tahu Cristiano Ronaldo ganteng ini selalu salah mengira kalau tawuran suporter berfungsi sebagai pengubah angka. Bukan. Tentu saja bukan. Lemparan batu dan penyebab-penyebab lain perkelahian suporter adalah reaksi dari apa yang terjadi di lapangan hijau, di 90 menit yang apa saja bisa terwujud.
Entah doa kemenangan tuan rumah atau malah tim tamu. Suporter yang akrab dengan tribun bereaksi atas apa saja di stadion selama pertandingan berlangsung. kamu bisa terpaku dalam serangan-serangan menuju gol, kamu bisa setengah berdiri dari dudukmu ketika pemain sayap sprint sungguh kencang di sisi lapangan dalam serangan balik, kamu bisa sedikt melompat dalam berdirimu ketika tendangan jarak jauh melintas tipis di atas mistar gawang. Atau paduan suara “ah” dan “oh” ketika cannonball melesat kencang ke tiang gawang dan detak jantung berubah cepat sekali. Suporter bereaksi atas momentum-momentum seperti itu.
Menjambak rambut dan memegang kepala lalu tertunduk atas timnya yang kebobolan, atau berpelukan dengan orang yang bahkan tidak kamu kenal karena tim kalian mencetak gol, membalikkan kedudukan, atau melesakkan tendangan pamungkas yang mengunci skor. Lantas dengan boneka-boneka dan poster-poster yang diam saja atas apa yang terjadi di 2×45 menit, aku tidak lagi bisa mencerna sepakbola. Di mana asiknya?
Tonggos,
Mei 2020