Hari ini kami tidak berangkat ke pertandingan. Dua musim belakangan, seiring datangnya kemarau pandemi, aku tak lagi merasakan momen-momen; kecemasan saat timku hampir kebobolan, atau perayaan tiga angka di ujung laga dengan gembira. Bulan ketiga awal tahun hanya ada turnamen yang berjalan ala kadarnya. Yang penting ada. Yang penting jalan. Ajang pra musim tak kemudian menjadi jalan mulus bergulirnya kompetisi sebab badai pandemi tak kunjung pergi. Semakin menunda liga yang sudah lama tiada.
Sepak bola yang tak berjalan membuatku sekadar membayangkan momen-momen di stadion. Di atas lapangan, juga setiap sudut teras. Saat penyerang andalan kami menggetarkan jala lawan. Pun saat-saat aku mesti sibuk membagi pandangan pada jam tangan dan lapangan jelang hasil pertandingan yang nyaris ditentukan. Kau tahu, pada akhirnya sesuatu yang membekas dan memiliki arti tak cuma hasil ujung kompetisi. Namun bagaimana kisah antara tim dan suporter yang selalu berusaha memberikan dukungan juga hasil baik. Hari lepas hari. Laga demi laga.
Kompetisi yang dinanti kemudian hadir. Menjadi nafas panjang penggemar bola tanah air. Lini masa kembali riuh bercuit dengan tajuk sepak bola. Jelang laga awal liga, aku membuka lagi draft tulisan yang berantakan dan tak selesai. Percakapan via whatsapp dengan kawan-kawan tongkrongan tak kalah ramai. Menduga-duga jalannya laga sekaligus hasilnya. Satu dua kali teman lama yang dulu sering bertukar bacaan denganku mengirim pesan, melekasi psywar dan saling ejek karena tim kami bakal saling berhadapan malam nanti.
Kostum putih berlambang candi sudah kukenakan sedari siang, di hari minggu yang tak libur kerja. Bersiap merayakan sepak bola, meski tahu sendirian mendukung di depan layar kaca tak memberi banyak sesuatu pada timku. Paling tidak dengan begitu aku merasa tenang sekaligus bersyukur matchday akhirnya tiba. Meski belum seperti sedia kala, dapat menjadi obat untuk keseharian yang membosankan.
Peluit kick off disemprit. Si beton Maslac dengan kerut dahinya yang garang tampil menawan bak prajurit Skandinavia. Penjaga gawang andalan bermusim-musim lamanya bermain tenang seperti yang sudah-sudah ia tunjukkan. Kapitan dari sayap kanan berlari gembira dengan penuh keteguhan. Atraksi little Irfan Jaya sembilan puluh menit lamanya membuat kepincut para penggemar. Dan pemuda-pemuda lain yang tampil berani di medan laga, dalam hatiku; semoga beruntung hari ini.
Di kanan-kiri media sosial, orang-orang mulai berteriak. Mengajari nomor delapan cara bermain bola, atau mengumpat “asuu Arthur goblok” dengan alasan yang jelas. Tim lawan nyaman menyerang lewat sisi yang ia tempati. Kami tertinggal dan tim lawan mengendorkan serangan. Waktu jeda, skor 0-1. Kau tahu, saat jeda pertandingan tak cuma pemain yang butuh rehat. Suporter juga butuh istirahat untuk emosi yang meletup-letup. Lini masa membahas statistik, dan ngide tentang siapa pemain yang mesti masuk dan keluar.
Sempat tertinggal di paruh pertama, Super Elang Jawa mencetak gol penyama lima belas menit setelah paruh kedua dimainkan. Tim kami menjadi tampak lebih lugas dan menciptakan beberapa serangan. Sepuluh menit kemudian aku nyaris berjingkrak andai saja tandukan Maslac sedikit berbelok arah. Akhirnya, waktu pertandingan usai bersamaan dengan wasit meniup peluitnya. Usai kututup jendela siaran pertandingan, aku spontan memberikan senyum gagah untuk tim yang berjuang malam itu. Nomor delapan yang menjadi beban sejak awal pertandingan dan hasil imbang menjadi penghiburan untuk kami semua. Tentu saja. Andai PSS bermain dengan skuat terbaiknya. Harapku kemudian, untuk laga-laga yang akan datang.
Usai laga, aku bisa membayangkan sorak-sorai dari warung kopi dan kos-kosan dan rumah-rumah yang jauh dari tempatku sekarang. Siapapun berjumpa dengan siapapun. Memuja tim yang kami bela. Gelas plastik bekas tuangan arak yang berceceran. Setelah beberapa tahun aku tak lagi merasakannya, meski tak sempat hadir di stadion, di hari pertandingan. Aku tetap bisa merayakan. Di mana saja. Di ruang selebrasi selanjutnya kalau kata Over Distortion.
ditulis oleh: Pandhus